Dulu..aku pikir aku telah bersedekah atau berinfak dengan memberi begitu saja uang receh pada pengemis di pinggir jalan atau yang datang ke rumah. Itu duluuuu..ketika pengemis masih bisa dihitung dengan jari. Itu duluu juga, ketika aku belum terpikir, masak tiket masuk surga senilai uang recehan? Yang penting ikhlas?? hahaha...yang pakai tiket recehan mungkin masuk terakhir. Itu kalau surga sudah dipenuhi orang yang ikhlas dengan prosentasi infak (terhadap penghasilan) yang besar hehehehe...(kaleee)
1997, itu berubah ketika suatu pagi (pagii sekali),di Kota Solo, aku melihat ibu pengemis yang biasa mangkal di pertigaan kampus pertanian dan rektorat UNS, ternyata diantar oleh seseorang dengan kendaraan bermotor. Bahasa tubuh mereka menceritakan bahwa pengendara motor itu bukan sekedar tukang ojeknya. Terus apanya...
1998, suatu pagi (pagi sekali juga), di Jogja, aku melihat mobil menurunkan beberapa penumpang dengan kostum "pengemis" dan asesorisnya (borok-borok imitasi). Ketika sore, orang yang kulihat tadi siang berjalan terpincang-pincang ternyata kini telah mampu berjalan tegap. Seorang rekan pernah bercerita, dia dan timnya pernah mencoba mengikuti pengemis-pengemis tersebut. Penasaran, pergi kemana mereka kalau hari sudah gelap. Ternyata, mereka berkumpul di suatu tempat, menunggu semacam jemputan. Ketika tahu ada yang mengikuti, mereka spontan membubarkan diri. Mereka punya induk semang ternyata.
Bertahun-tahun setelah itu, ketika tayangan televisi yang bersifat investigasi makin marak, terjawablah rasa penasaranku. Pengemis itu sangat terorganisasi. Penghasilan induk semangnya sangat luar biasa dibanding gaji pertama fresh graduate dari universitas ternama di negeri ini. Sementara mesin uangnya adalah anak-anak dan nenek-nenek yang berkeliaran di jalan dengan memanfaatkan belas kasihan orang. Malah ada anak sendiri yang disuruh ngamen, tapi bapak yang seharusnya menafkahi dan melindungi justru ongkang-ongkang menunggu setoran. Jadi aku pikir waktu itu, daripada aku memberi uang buat menghidupi orang biadab yang memanfaatkan rasa belas kasihan orang mendingan langsung memberi anak-anak itu makan, minum, jajan, atau permen. Minimal banget mendoakan mereka agar bisa keluar dari kehidupan semacam itu.
Sekarang di Bandung, kalau melihat anak-anak kecil di perempatan jalan, rasanya nyeri banget di hati. Tambah lagi, anak-anak yang tidur di trotoar di samping kaleng kencleng mereka di sekitar Gramedia dan BIP, mereka tidur bukan hanya karena (mungkin) lapar, tapi...mereka diberi obat sehingga lemas dan tidur sepanjang hari. Ingiiin banget menolong, membawa mereka, tapi takut dikeroyok ama preman-preman si induk semang. Akhirnya, aku hanya bisa pura-pura cuek, seperti orang-orang lain yang juga bersliweran. Duh Gusti, ampuni aku yang tak bisa berbuat dengan tanganku. Duuuh..bagaimana nanti masa depan mereka. Bagaimana perkembangan psikis mereka. Fisik mungkin mudah dibenahi, tapi psikis???
Di beberapa perempatan di Bandung, sudah dipasang anjuran dari Depsos untuk tidak memberi uang pada anak-anak jalanan itu. Karena sebenarnyalah, uang kita (yang kita anggap receh) yang membuat mereka selalu kembali ke jalan. Bertahun yang lalu, seorang rekan yang aktif di rumah singgah di Jogja pernah mengeluhkan hal ini. Seberapa getolnya mereka dibina, tapi daya tarik jalanan lebih menjanjikan secara ekonomis. Karena...karena uang receh kita!!! Jadi saat itu aku berjanji tidak akan mementahkan usaha rekan-rekan itu.
Kalau sekarang ada Perda yang melarang kita memberi uang pada pengemis dan kawan2nya itu, maka aku adalah orang yang akan bilang setuju. Kalau tidak ada uang receh kita, maka mereka pun tidak akan mencari uang di jalan. Agak sedikit berbeda pendapatku dengan pengamen (yang bener2 ngamen) dan pedagang asongan (yang tidak suka maksa), kalau yang sejenis ini..aku masih respek. Entahlah...Aku juga sedih melihat orang-orang berpeci atau berkerudung membawa kencleng di tempat umum, meminta bantuan untuk ini itu. Maluuu..
Jika memang ingin berzakat, bersedekah/ bersidqah, pokoknya yang begitulah judulnya..lebih baik melalui amil atau organisasi semacamnya. BAZNAS, Rumah Zakat Indonesia, Dompet Dhuafa, dsb, sudah banyak sekarang yang sejenis. Dengan cara seperti ini, orang yang dibantu tidak akan merasa malu, orang yang dibantu akan lebih banyak jumlah dan cakupannya secara geografis. Dana dari kita benar-benar disalurkan pada orang-orang yang memang membutuhkan. Tidak akan salah sasaran, karena mereka juga diaudit, dan kita juga menerima laporan bulanannya. Yang paling penting, orang yang dibantu tidak hanya diberi ikan tapi juga diberi pancing dan umpannya.
Kamis, 20 September 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar